Soemitro Djojohadikusumo, The Hidden Story of Freeport
![]() |
Soemitro Djojohadikusumo | Istimewa |
Beritacas.com - “Salah
satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari
Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa
yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan,
menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan
kolonialisme Barat,” – Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008).
Sekilas
Perjalanan Freeport di Indonesia
Lisa
Pease, seorang penulis asal Amerika Serikat, membuat artikel menarik berjudul
“JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur”. Artikel heboh ini dimuat dalam
Majalah Probe, edisi Maret-April 1996. Kemudian, artikel ini disimpan di dalam
National Archive di Washington DC, Amerika Serikat.
Paling
menarik, dalam artikelnya Lisa Pease menulis penjarahan Freeport atas gunung
emas di Papua sudah dimulai sejak tahun 1967. Namun, kiprah Freeport sendiri di
Indonesia sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.
Freeport
Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping
ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro
berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan
asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak
melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan
terjadi. Berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan
terhadap Castro, namun selalu pula menemui kegagalan.
Di
tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang
menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur
Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.
![]() |
Istimewa |
Pada
saat itu, Gruisen bercerita bahwa dirinya menemukan sebuah laporan penelitian
atas Mountain Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques
Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak
berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan
Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu
dan membacanya.
Dengan
berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika
selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis
tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya di
seluruh dunia. Kandungan biji tembaga yang ada di Gunung Ersberg itu terhampar
di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah.
Mendengar
hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat
untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini
benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari
kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama
beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama atas Gunung
Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini ditulisnya dalam sebuah
buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut
sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam
lagi. Karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah.
![]() |
Istimewa |
Dari
udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain
dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan
perak! luar biasa.
Menurut
Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Ersberg
Mountain atau Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson
memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah
kembali modal.
Pimpinan
Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport
Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi
gunung tersebut.
Namun
lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang
pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat
tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno
malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya
Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar
mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung
Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan
jika ngotot mempertahankan Irian Barat.
Belanda
yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya
dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur
dari Irian Barat.
Ketika
itu, sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung
banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta
sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak
ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.
Dampak
dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian
kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan Freeport
jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi
kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua
ini jelas harus dihentikan.
Segalanya
berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak
pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan
sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak
mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika.
Presiden
Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil siap yang bertolak-belakang dengan
pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia,
kecuali kepada militernya.
Salah
seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye
pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C Long. Ia juga salah seorang
anggota dewan direksi Freeport. Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan
besar atas Indonesia.
Selain
kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex
(patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961
memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen
labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Caltex,
sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat
terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus
C Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini
disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C Long
juga aktif di Presbysterian Hospital, New York di mana dia pernah dua kali
menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini
merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
![]() |
Istimewa |
Lisa
Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964
sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan Texaco. Apa saja yang
dilakukan orang ini dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang
paling krusial.
Lisa
mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C Long terpilih sebagai Direktur
Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat
menjadi anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar
negeri.
Badan
ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di
negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta
terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira
Angkatan Darat yang disebutnya sebagai “our local army friend”.
Salah
satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul
21.48, yang menyatakan ada kelompok Jenderal Suharto yang akan mendesak
angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno
berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal
itu benar adanya.
Setelah
Soeharto berkuasa, maka Freeport dengan leluasa menjarah Gunung Ersberg yang
disamping terkandung tembaga juga terdapat kandungan emas dan perak, bahkan
terdapat kandungan uranium.
Skenario
Pesta Kenduri Bancakan SDA Indonesia di Genewa-Swiss Tahun 1967
Tumbangnya
Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS
Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari
Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan
alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga
baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh
Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini malah digadaikan dengan harga
murah kepada Amerika Serikat.
Sejak
akhir 1940-an, AS sesungguhnya sudah mengamati gerak-gerik dua tokoh PSI
bernama Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko yang berasal dari kalangan
elit. AS mengetahui jika keduanya menentang sikap Soekarno. Baik Soedjatmoko
maupun Soemitro diketahui menyambut baik Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko
berkata, “Strategi Marshall Plan untuk Eropa tergantung pada dapat
dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko, demikian panggilan Soedjatmoko,
bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang terbuka untuk bersekutu dengan
Barat. Awal 1949, Soemitro di School of Advanced International Studies yang
dibiayai Ford Foundation menerangkan jika pihaknya memiliki model sosialisme
yang membolehkan dieksploitasinya kekayaan alam Indonesia oleh Barat ditambah
dengan sejumlah insentif bagi modal asing (Suroso; Bung Karno, Korban Perang
Dingin; 2008.p.301. Lihat juga Weisman dan Djojohadikoesoemo 1949: 9).
Prosesi
digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan
kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim
sat tim ekonomi dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro
Djojohadikusumo. Tim ini kelak disebut sebagai Mafia Berkeley, menemui para CEO
korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller. Dalam pertemuan inilah tanah
Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya oleh
mereka dan dibagikan kepada korporasi-korporasi asing, Freeport antara lain
mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan
landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun
dirancang di Swiss ini yang kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing
tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua
COE korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Ane
kutip apa yang ditulis oleh John Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New
Rulers of the World.” Ane terjemahkan seakurat mungkin ke dalam bahasa
Indonesia sebagai berikut :
Dalam
bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil
tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa
di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para
pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang
seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili :
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang
meja adalah orang-orangnya Soeharto (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan
Soemitro Djojohadikusumo) yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom
Indonesia yang top”.
Di
halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor
demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters,
guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang
sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari
dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi :
pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar
lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase
Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan
yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para
pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain,
mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada
dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya
tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk
dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya
sendiri.
Freeport
mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger
duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang
raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok
perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis
di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman
modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan
ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali
dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI),
yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia
dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”
Demikian
gambaran yang diberikan oleh Brad Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger
tentang suasana, kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konferensi yang
merupakan titik balik masuknya kembali bangsa Indonesia kepada penjajahan
ekonomi gaya baru, Neo-Liberalism.
Sejak
Konferensi Jenewa bulan November 1967 yang digambarkan oleh John Pilger, dalam
tahun itu juga lahir UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang
disusul dengan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan
serangkaian perundang-undangan dan peraturan beserta kebijakan-kebijakan yang
sangat jelas menjurus pada liberalsasi. Dalam berbagai perundang-undangan dan
peraturan tersebut, kedudukan asing semakin lama semakin bebas, sehingga
akhirnya praktis sama dengan kedudukan warga negara Indonesia. Kalau kita
perhatikan bidang-bidang yang diminati dalam melakukan investasi besar di
Indonesia, perhatian mereka tertuju pada pertumbuhan PDB Indonesia yang
produknya untuk mereka, sedangkan bangsa Indonesia hanya memperoleh pajak dan
royalti yang sangat minimal.
Bidang-bidang
ini adalah pertambangan dan infra struktur seperti listrik dan jalan tol yang
dari tarif tinggi yang dikenakan pada rakyat Indonesia mendatangkan laba
baginya.
Bidang
lain adalah memberikan kredit yang sebesar-besarnya dengan tiga sasaran :
pertama, memperoleh pendapatan bunga, kedua, proyek yang dikaitkan dengan
hutang yang diberikan di mark up (korupsi), dan dengan hutang kebijakan
Indonesia dikendalikan melalui anak bangsa sendiri, terutama yang termasuk
kelompok Mafia Berkeley untuk ekonomi dan kelompok The Ohio Boys untuk bidang
politik.
Keseluruhan
ini sendiri merupakan cerita yang menarik dan bermanfaat sebagai bahan renungan
introspeksi betapa kita sejak tahun 1967 sudah dijajah kembali dengan cara dan
teknologi yang lebih dahsyat.
Sejak
tahun 1967, pengerukan dan penyedotan kekayaan alam Indonesia oleh kekuatan
asing, terutama mineral yang sangat mahal harganya dan sangat vital itu
dilakukan secara besar-besaran dengan modal besar dan teknologi tinggi. Para
pembantunya adalah bangsa sendiri yang berhasil dijadikan kroni-kroninya.
Soekarno
dan JFK adalah sama-sama korban dari Neo imperialisme yang dikendalikan oleh
corporate-corporate yang dimiliki oleh Zionis yang tersebar di Amerika dan
Eropa. Mereka adalah pengendali kapitalisme dan terus melanggengkan
imperialisme ke negara timur dan Asia [HWMI].
APA KOMENTAR ANDA?
BERITA MENARIK
loading...
BERITA TERBARU